Terima Kasih Kepada Masyarakat yang telah Berpartisipasi dalam Mensukseskan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 di Jawa Barat | Selamat Datang di Portal Website Resmi KPU Provinsi Jawa Barat

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Revitalisasi Peran TPD Pasca Pemilu dan Pemilihan

Oleh: Adie Saputro (Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP Jawa Barat Periode 2025–2026)   Pelantikan Tim Pemeriksa Daerah (TPD) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hari ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum pembaruan moral pasca penyelenggaran Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. Setelah hiruk-pikuk tahapan dan dinamika kompetisi politik, kini tiba saatnya kita menata kembali ruang etik dalam penyelenggaraan demokrasi. TPD, sebagai perpanjangan tangan DKPP di daerah, memiliki mandat strategis untuk memastikan nilai-nilai dasar integritas, kemandirian, dan profesionalisme tidak berhenti di tataran slogan. Di Jawa Barat, provinsi dengan kompleksitas sosial, politik, dan geografis yang tinggi peran TPD harus lebih dari sekadar memeriksa pelanggaran; ia harus menjadi laboratorium etik, tempat seluruh penyelenggara pemilu belajar, berefleksi, dan berbenah. Revitalisasi peran TPD pasca-pemilu menuntut pendekatan baru yang lebih proaktif dan preventif. Penegakan kode etik harus berjalan beriringan dengan pendidikan etik. TPD tidak cukup hadir setelah pelanggaran terjadi, tetapi harus hadir di tengah proses pembelajaran menjadi mitra reflektif bagi KPU dan Bawaslu dalam membangun budaya integritas kelembagaan. Pendekatan etik ke depan harus berorientasi pada pembentukan karakter penyelenggara yang mampu menjaga diri dari konflik kepentingan, godaan kekuasaan, dan intervensi politik. Selain itu, revitalisasi juga meniscayakan sinergi lintas lembaga. TPD Jawa Barat harus memperkuat kolaborasi dengan perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan media, untuk memperluas literasi etika publik. Dalam konteks digitalisasi dan keterbukaan informasi, tantangan baru muncul batas antara ekspresi pribadi dan tanggung jawab etik penyelenggara kian tipis. Di sinilah peran TPD dibutuhkan sebagai kompas moral yang menuntun perilaku aparatur pemilu di ruang publik maupun digital. Etika bukan hanya seperangkat norma tertulis; ia adalah kesadaran batin yang menuntun tindakan. Dengan semangat baru, TPD DKPP Jawa Baratberkomitmen menjadikan masa pasca Pemilu 2024 sebagai titik tolak peradaban etik baru: demokrasi yang bukan hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermartabat secara moral.

Dari Evaluasi Menuju Evolusi Demokrasi

Oleh: Eko Iswantoro (Sekretaris KPU Provinsi Jawa Barat)   Rapat Evaluasi Nasional Pelaksanaan Pemilihan Serentak Tahun 2024 bukan sekadar forum laporan atau rekapitulasi tahapan, melainkan ruang refleksi kolektif untuk menata arah baru penyelenggaraan pemilihan di Indonesia. Sebagai tuan rumah kegiatan ini, KPU Provinsi Jawa Barat merasa terhormat menjadi tempat perjumpaan gagasan dan pembelajaran lintas provinsi dalam merumuskan ulang tata kelola demokrasi kita. Pemilihan Serentak 2024 adalah momentum historis: kompleksitas logistik yang belum pernah terjadi sebelumnya, konvergensi tahapan legislatif dan eksekutif, serta ujian integritas di tengah derasnya arus disinformasi digital. Dari 38 KPU Provinsi, muncul benang merah yang sama: keberhasilan teknis tidak otomatis berbanding lurus dengan kematangan kelembagaan. Maka, “evaluasi” di sini harus dibaca sebagai “evolusi” — transformasi dari sekadar penyelenggara teknis menjadi institusi pembelajar yang tangguh, adaptif, dan berintegritas. Beberapa isu strategis yang terangkat mempertegas hal itu: (1) Manajemen SDM penyelenggara yang perlu beranjak dari pendekatan administratif ke arah manajemen talenta berbasis kompetensi dan nilai; (2) Transformasi digital yang harus diimbangi dengan literasi etik dan keamanan data; (3) Penguatan tata kelola logistik dan pengadaan, agar efisiensi tidak mengorbankan akuntabilitas; (4) Perlindungan terhadap penyelenggara dan pemilih rentan, termasuk perspektif gender, disabilitas, dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kerja. Kegiatan ini mempertemukan perspektif lintas kementerian, lembaga, dan pakar, yang menegaskan bahwa pemilu tidak bisa hanya diukur dengan angka partisipasi, tetapi juga oleh kualitas interaksi sosial, keadilan prosedural, dan ketahanan sistem terhadap tekanan politik maupun teknologi. Dalam hal ini, Jawa Barat belajar bahwa kolaborasi antarlembaga bukan sekadar formalitas, melainkan prasyarat untuk memastikan demokrasi yang inklusif dan aman bagi semua. Bandung menjadi saksi bahwa penyelenggara pemilu sedang berproses menuju kesadaran baru: menjaga suara rakyat bukan hanya soal logistik dan rekapitulasi, tetapi tentang membangun ekosistem integritas. Dari ruang-ruang diskusi hingga komitmen nyata di lapangan, semangatnya satu — menata demokrasi dengan nurani. Dari Bandung kita belajar, evaluasi yang jujur bukan tanda kelemahan, melainkan langkah pertama menuju keunggulan. Dan jika Pemilihan Serentak 2024 adalah ujian ketahanan sistem, maka hasilnya menunjukkan bahwa KPU, dengan segala tantangan dan kekurangannya, tetap berdiri tegak — bukan karena sempurna, tetapi karena terus belajar.

Talenta ASN: Pondasi Senyap Demokrasi

Oleh Yunike Puspita (Kabag Parhumas dan SDM KPU Provinsi Jawa Barat)   Rapat Koordinasi Penguatan Kelembagaan dan Pengelolaan SDM KPU yang diselenggarakan di Bangka menjadi momentum reflektif bagi seluruh jajaran penyelenggara pemilu. Materi yang disampaikan oleh narasumber dari FISIP Universitas Padjadjaran menegaskan bahwa keberhasilan pemilu bukan semata hasil dari sistem yang baik, tetapi terutama dari kualitas manusia yang menggerakkannya. SDM Sekretariat KPU adalah garda terdepan legitimasi demokrasi. Dalam konteks kelembagaan, Sekretariat KPU di semua tingkatan dihadapkan pada tantangan multidimensi: beban kerja tinggi, keterbatasan jumlah pegawai, ekspektasi publik yang terus meningkat, serta tekanan politik yang tidak jarang menguji integritas. Tantangan-tantangan tersebut menuntut sistem manajemen SDM yang kokoh, berbasis sistem merit, kompetensi, dan integritas. Regulasi seperti UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, PP Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP 17 Tahun 2020, dan PermenPANRB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta ASN memberikan fondasi hukum yang jelas. Namun, penerapannya di lingkungan KPU memerlukan strategi yang adaptif. Penguatan SDM tidak cukup berhenti pada pelatihan teknis kepemiluan, melainkan harus mencakup asesmen kompetensi, pembangunan talent pool, career pathing, serta program pengembangan kepemimpinan dan literasi digital. Pendekatan manajemen talenta ASN sebagaimana dipaparkan dalam Rakor merupakan instrumen penting untuk menyiapkan kader aparatur yang unggul. Dengan pemetaan potensi dan kinerja melalui mekanisme 9-Box Grid, KPU dapat menyiapkan calon pemimpin masa depan secara terencana dan berkeadilan. Hal ini bukan hanya memperkuat kesinambungan organisasi, tetapi juga menjaga netralitas karena setiap promosi dan rotasi jabatan didasarkan pada kompetensi, bukan kedekatan personal atau tekanan eksternal. Selain itu, penguatan kelembagaan KPU juga menuntut soliditas hubungan antara anggota KPU dan sekretariat. Seperti yang diungkapkan dalam sesi diskusi, masih sering terjadi dualisme kepemimpinan, tarik menarik kewenangan, serta perbedaan persepsi terkait peran dan fungsi. Diperlukan komunikasi internal yang lebih terbuka, pembagian peran yang jelas, serta kepemimpinan kolektif-kolegial yang menghormati batas etika, profesionalitas, dan tata kerja sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2019 dan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dari sisi pengembangan SDM, kolaborasi dengan lembaga akademik seperti UNPAD merupakan langkah strategis. Melalui pendekatan ilmiah dan asesmen berbasis teknologi seperti Mobile Assessment Competency Test (MACT), KPU dapat memperoleh peta kompetensi yang objektif untuk menentukan kebutuhan pengembangan. Selain itu, pelatihan berbasis system thinking, leadership adaptive, dan digital literacy akan memperkuat kesiapan ASN menghadapi siklus pemilu yang semakin kompleks dan digital. Akhirnya, Rakor Bangka menegaskan bahwa Sekretariat KPU yang kuat lahir dari SDM yang berintegritas dan kelembagaan yang solid. Dengan kepemimpinan yang visioner, sistem merit yang diterapkan konsisten, dan budaya kerja berbasis kolaborasi, KPU tidak hanya akan menjadi lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga menjadi simbol tata kelola demokrasi yang bersih, profesional, dan dipercaya publik.

Kerja-Kerja KPU Tak Boleh Senyap

Oleh : Hedi Ardia (Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Jabar)   Di saat ada tahapan Pemilu maupun Pilkada, nama KPU baik di tingkat nasional maupun daerah kerap kali disebut-sebut dan menjadi bahan perbincangan berbagai kalangan terutama media massa (cetak, online dan elektronik). Pasalnya, seluruh tahapan hajatan politik lima tahunan tersebut memang menjadi tanggung jawab KPU secara teknis penyelenggaraannya.  Tapi, di saat tak ada tahapan Pemilu maupun Pilkada seperti sekarang ini tentu yang bisa dilakukan oleh KPU menjadi kian terbatas. Bahkan acap kali muncul tuduhan-tuduhan bahwa seluruh komisioner KPU terutama di daerah hanya magabut alias makan gaji buta. Tentu, stigma seperti itu harus dibuktikan dengan kerja-kerja yang bisa dipertanggung jawabkan. Hal itu, lantaran seluruh personel di rumah besar KPU tetap menerima uang kehormatan dan gaji setiap bulannya sekalipun tidak ada tahapan Pemilu/Pilkada. Dengan kondisi seperti di atas, tak ada pilihan lain bagi KPU dan jajarannya untuk bisa membuktikan kepada publik bahwa mereka tidaklah magabut. Momen seperti saat ini sebenarnya peluang untuk melakukan konsolidasi internal, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, pemutakhiran data pemilih hingga edukasi ke masyarakat. Sederhananya, bila pendidikan pemilih dan sosialisasi dilakukan seperti momen saat ini yang dikedepankan adalah nilai ketimbang urusan teknis belaka. Terlebih menurut catatan V-Dem, sebagian dari negara-negara di muka bumi banyak mengalami penurunan kelas dari demokrasi liberal menjadi demokrasi yang bersifat elektoral atau dengan kata lain demokrasi seutuhnya menjadi demokrasi prosedural. Demokrasi hanya dipahami adanya lembaga-lembaga demokrasi dan pelaksanaan pemilu an-sih tapi demokrasi kehilangan ruh karena praktiknya hanya bersifat seremonial belaka.  Oleh karena itu, pendidikan pemilih dianggap mendesak dilakukan  terlebih hal ini bisa dilaksanakan pada masa pre elected yaitu sebelum tahapan pemilu dilaksanakan, elected yaitu pada waktu tahapan pemilu dan post elected setelah tahapan pemilu selesai dilaksanakan. Tugas dan kewajiban untuk melaksanakan pendidikan pemilih berkelanjutan ini sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama baik penyelenggara, stakeholder, partai politik, masyarakat, maupun pihak-pihak terkait. Teman-teman KPU Kabupaten/kota wajib melakukan terobosan dan kreativitas sehingga pendidikan pemilih bisa terus berjalan. Semisal, memanfaatkan media sosial membuat podcast, reels, infograpis hingga kuis interaktif. Menggandeng instansi lain seperti Dinas Pendidikan untuk melakukan edukasi di SMA/SMK. Selain itu, edukasi demokrasi di pesantren dan perguruan tinggi serta melakukan simulasi inklusif bagi kaum disabilitas dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan.  Tapi, jangan sampai dilupakan seluruh aktivitas tersebut harus didokumentasikan dengan baik di seluruh kanal media sosial milik KPU kabupaten/kota sebagai bentuk transparansi sekaligus pertanggung jawaban atas tupoksi yang mesti dilakoninya. Bahkan, bila kita lihat kondisi abad ini persis seperti yang diungkapkan Clay Shirky dalam bukunya Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations (2008) mengatakan,  the tools of social media don’t  get socially interesting until they get technologically boring. Kerja seseorang sering diakui saat aktivitasnya terlihat di media sosial. Dengan kata lain, publikasi menjadi alat komunikasi yang memberi legitimasi sosial pada hasil kerja. Masalahnya, masih banyak personel yang ada di KPU menganggap bahwa publikasi di medsos itu hanyalah pencitraan bukan bagian dari pembuktian kinerja (akuntabilitas). Cara pandang tersebut, perlu diubah bahwa publikasi adalah akuntabilitas bukan formalitas. Bukan sekadar posting, tak kalah pentingnya adalah memastikan konsistensi kegiatan publikasi itu dilakukan guna menjaga kepercayaan masyarakat.  Bila penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan sudah kehilangan kepercayaan publik, itu artinya sebuah pertanda matinya demokrasi. Hal ini bisa kita lihat di bukunya How Democracies Die yang ditulis dua intelektual terkenal dari Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Menurut keduanya, matinya demokrasi didahului dengan matinya keyakinan atas pelaksanaan substansi atau norma-norma demokrasi.   Tahapan Pemilu/Pilkada memang sedang jeda, tapi tidak dengan pengabdian seluruh penghuni rumah besar KPU. Pendidikan pemilih harus terus berjalan sekalipun dihadapkan dengan sejumlah tantangan minimnya anggaran. Yang terpenting adalah pembuktian kerja-kerja konkret kepada publik atas hak yang telah diterima. Dan tak kalah pentingnya yakni menyepakati publikasi di medsos adalah upaya konkret menjaga akuntabilitas, membangun kepercayaan sekaligus penegasan eksistensi KPU bagi imunitas demokrasi.*** 

Meneguhkan Integritas, Mewujudkan Keadilan Pemilu

Oleh: Aneu Nursifah, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Provinsi Jawa Barat (Dalam rangka Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-65 Tahun 2025)   Hari Bhakti Adhyaksa ke-65 yang diperingati pada 22 Juli 2025 mengusung tema "Penegakan Hukum yang Tegas dan Humanis Mengawal Pembangunan Nasional". Sebuah tema yang tidak hanya menjadi kompas bagi Kejaksaan Republik Indonesia, tetapi juga menginspirasi segenap lembaga negara, termasuk penyelenggara pemilu, dalam menjalankan tugas konstitusionalnya dengan menjunjung tinggi nilai keadilan, integritas, dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Pemilu sebagai pilar demokrasi hanya akan berjalan secara bermartabat apabila ditegakkan di atas prinsip supremasi hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ditegaskan bahwa pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Nilai-nilai tersebut tidak dapat diwujudkan tanpa adanya sistem penegakan hukum pemilu yang kokoh, partisipatif, dan menjunjung profesionalisme serta keadilan substantif. KPU sebagai penyelenggara pemilu turut merasakan pentingnya kolaborasi dengan institusi penegak hukum, termasuk Kejaksaan, dalam menangani pelanggaran pemilu, menindak praktik manipulatif, serta membangun kesadaran hukum masyarakat dalam proses demokrasi. Kolaborasi ini memperkuat fungsi pengawasan dan menjamin bahwa setiap pelanggaran tidak berlalu tanpa pertanggungjawaban. Pada momen Hari Bhakti Adhyaksa ini, izinkan kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya kepada Kejaksaan Republik Indonesia, khususnya Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di wilayah Jawa Barat, atas peran aktif dalam Sentra Gakkumdu, pembinaan hukum, serta penguatan sinergi kelembagaan yang berkelanjutan. Ketegasan dan humanisme yang diusung Kejaksaan menjadi teladan dalam menegakkan hukum secara adil namun tetap berorientasi pada keutuhan demokrasi. Mari kita terus bergandeng tangan membangun sistem kepemiluan yang bersih dan berintegritas. Karena pada akhirnya, keadilan dalam pemilu adalah keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke-65. Jayalah Adhyaksa, tegakkan hukum dengan hati nurani.

Publikasi