Opini

1127

Etika Demokrasi dan Tanggung Jawab Pencegahan Kekerasan Seksual dalam Penyelenggaraan Pemilu

Oleh: Abdullah Sapii Anggota KPU Provinsi Jawa Barat Divisi SDM Penelitian dan Pengembangan Menjadi penyelenggara pemilu bukan hanya soal teknis elektoral, tetapi tanggung jawab etik yang melekat pada setiap insan KPU. Di tengah kompleksitas tahapan dan tekanan publik, menjaga integritas dan kehormatan lembaga menjadi keniscayaan. Salah satu dimensi penting dari upaya tersebut adalah pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kerja, yang kini telah memiliki landasan kuat melalui Keputusan KPU Nomor 1341 Tahun 2024 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sebagai Ketua Divisi SDM Penelitian dan Pengembangan, saya menyadari bahwa tugas ini bukanlah administratif belaka, melainkan panggilan etik. Berdasarkan KPT 1341/2024, Satgas nantinya berperan dalam membangun lingkungan kerja yang aman, responsif terhadap kelompok rentan, serta bebas dari intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan dalam bentuk apa pun. Kami ditugaskan untuk menyusun dan menyampaikan materi edukatif, menelaah potensi kebijakan yang rawan kekerasan seksual, dan menangani laporan dari berbagai kanal—baik langsung maupun tidak langsung. Menurut data DKPP yang kami pelajari, terdapat peningkatan kasus pelanggaran etik dengan dimensi kekerasan seksual, termasuk sanksi berat hingga pemberhentian tetap. Ini menandakan pentingnya pencegahan sejak dini. KPU, melalui pengawasan internal dan mekanisme TPD, juga memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan tidak ada celah pembiaran terhadap pelaku di dalam sistem. Paparan dari KemenPPPA dan Komnas Perempuan memperkuat urgensi ini: tempat kerja, termasuk lembaga negara, bukan ruang yang steril dari potensi kekerasan seksual. Pelakunya bisa berasal dari relasi kuasa atau kedekatan struktural. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan Satgas harus berpihak pada korban, menjaga kerahasiaan, memastikan restitusi, serta terhubung dengan layanan pendukung seperti psikologis, hukum, dan kesehatan. Lebih jauh, tugas ini juga sejalan dengan UU ASN No. 20 Tahun 2023, yang dalam Pasal 3 dan 4 menekankan bahwa ASN wajib berperilaku harmonis, adil, nondiskriminatif, dan menjunjung kode etik. Dalam posisi kami sebagai penyelenggara pemilu dan juga para ASN penyelenggara, nilai-nilai tersebut bukan hanya komitmen personal tetapi mandat konstitusionalUU Nomor 20 Tahun 2023. Kami di KPU Jawa Barat sedang menata sistem pelaporan, membentuk sekretariat Satgas yang terdiri dari unsur SDM dan hukum, serta menyusun materi yang membumi dan mudah dipahami oleh seluruh jajaran, termasuk badan adhoc. Sosialisasi dilakukan dengan pendekatan humanis dan berbasis pengalaman, karena transformasi budaya organisasi tak bisa dibangun dengan jargon semata. Mewujudkan penyelenggara pemilu yang berintegritas berarti pula menjamin ruang kerja yang adil, setara, dan manusiawi. Pencegahan kekerasan seksual adalah bagian dari upaya menjaga marwah demokrasi, karena tidak ada keadilan elektoral tanpa keadilan di internal lembaganya. Mari kita tegakkan etika bukan karena kewajiban hukum, tetapi karena komitmen kita terhadap nilai-nilai luhur demokrasi dan kemanusiaan.


Selengkapnya
1152

Pleno Terbuka PDPB: Menjaga Integritas Data Pemilih, Meneguhkan Demokrasi

Oleh Ummi Wahyuni Ketua Divisi Datin KPU Provinsi Jabar,   Dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan yang demokratis, keakuratan dan keterbukaan data pemilih menjadi fondasi utama. Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) yang dilaksanakan melalui rapat pleno terbuka secara berkala, sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 1 Tahun 2025, merupakan mekanisme krusial dalam menjaga validitas dan akuntabilitas daftar pemilih. Rapat pleno terbuka bukan sekadar formalitas administratif, melainkan representasi dari prinsip transparansi, partisipasi, dan integritas publik dalam kerja-kerja teknis penyelenggara pemilu. Dalam forum ini, KPU membuka ruang bagi masyarakat, Bawaslu, Disdukcapil, partai politik, dan stakeholder lainnya untuk memberikan masukan maupun koreksi terhadap daftar pemilih, sepanjang disertai dokumen otentik. Hal ini menjadi wujud nyata prinsip responsif dan akuntabel sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 PKPU 1/2025. PDPB tidak hanya mencatat penambahan pemilih baru yang telah memenuhi syarat, tetapi juga memastikan pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat — seperti karena pindah domisili, menjadi anggota TNI/Polri, atau meninggal dunia — dikelola secara tepat. Data yang disajikan dalam pleno ini telah melalui proses sinkronisasi, validasi, dan verifikasi berlapis untuk menjamin mutakhirnya informasi yang disampaikan ke publik. Sebagai Ketua Divisi Datin KPU Provinsi Jawa Barat, saya menegaskan bahwa komitmen terhadap kualitas data pemilih adalah komitmen terhadap kualitas demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, kami mengajak seluruh pihak untuk terus aktif memberikan masukan, mengecek data secara berkala melalui kanal resmi, dan bersama-sama menjaga agar hak konstitusional setiap warga negara benar-benar terjamin pada Pemilu dan Pilkada mendatang.


Selengkapnya
1128

Menjaga Marwah Etika Pemilu: Refleksi Ulang Tahun DKPP

Oleh: Hari Nazarudin (Ketua Divisi Perencanaan dan Logistik) Momentum ulang tahun DKPP menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan peran strategis lembaga ini dalam menjaga etika penyelenggara pemilu. Di tengah iklim demokrasi yang dinamis dan tantangan integritas yang kompleks, DKPP hadir sebagai penjaga marwah ethical electoral governance—sebuah institusi yang tidak hanya menindak pelanggaran, tetapi juga membentuk budaya etik dalam sistem kepemiluan Indonesia. Sejak didirikan, DKPP telah memainkan peran penting sebagai hakim etik bagi penyelenggara pemilu. Eksistensinya tidak sekadar melengkapi arsitektur kelembagaan pemilu, tetapi juga berperan menjaga kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu. Integritas, kejujuran, dan independensi penyelenggara adalah fondasi legitimasi demokrasi elektoral. Maka, ketika penyelenggara pemilu terlibat dalam tindakan tidak etis—baik dalam bentuk keberpihakan, kekerasan seksual, atau konflik kepentingan—maka legitimasi proses pemilu ikut terciderai. Namun demikian, di tengah berbagai capaian, konsistensi DKPP dalam menegakkan etika masih menjadi sorotan. Sejumlah putusan progresif yang merespons isu-isu penting seperti netralitas gender dan independensi penyelenggara patut diapresiasi. Akan tetapi, kekhawatiran publik atas political accommodation dan tekanan dalam proses putusan masih kerap terdengar. Ketidakkonsistenan parameter etik dalam beberapa kasus turut mengaburkan persepsi publik terhadap profesionalitas DKPP. Dari perspektif masyarakat sipil, partisipasi dalam menjaga etika penyelenggara pemilu semakin meningkat. Lembaga pemantau dan advokasi tidak hanya aktif mengajukan pengaduan, tetapi juga mendorong transparansi serta akuntabilitas dalam sidang dan putusan DKPP. Oleh karena itu, DKPP perlu lebih terbuka terhadap penguatan mekanisme partisipatif—mulai dari konsultasi publik hingga publikasi tren pelanggaran dan data sanksi yang komprehensif. Selain itu, agenda reformasi etika penyelenggara pemilu juga menuntut DKPP untuk lebih sensitif terhadap isu-isu kontemporer: etika digital, disinformasi, gender-sensitive ethics, dan pendidikan etik berbasis demokrasi. Etika penyelenggara pemilu tidak cukup ditegakkan melalui pendekatan korektif, melainkan harus transformatif—mencetak aktor-aktor pemilu yang sadar etik, bukan sekadar patuh hukum. Ke depan, penguatan DKPP harus mencakup pembenahan kelembagaan dan sistem pendukungnya. Independensi anggaran, profesionalitas Tim Pemeriksa Daerah, serta pemutakhiran perangkat normatif menjadi agenda mendesak. DKPP harus menjauh dari ketergantungan pada goodwill politik dan mampu bertahan dari tekanan kekuasaan. Selamat ulang tahun DKPP. Semoga tetap menjadi pilar etika pemilu yang tangguh, adaptif, dan konsisten menjaga integritas demokrasi Indonesia.


Selengkapnya
1442

Refleksi Etik Penyelenggara Pemilu Tahun 2024: Pembelajaran untuk KPU Jawa Barat

Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Tahun 2024 menjadi titik evaluatif krusial bagi seluruh elemen penyelenggara pemilu, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), hingga 10 Juni 2025, terdapat 952 pengaduan etik yang masuk, dengan 1.596 orang teradu, menunjukkan adanya tantangan serius dalam menjamin profesionalitas, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Isu yang paling banyak muncul meliputi verifikasi peserta pemilu, pencalonan legislatif dan eksekutif, hingga pelanggaran etik dalam tahapan non-pemilu. Khusus untuk wilayah Jawa Barat, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam paparan DKPP, besarnya beban administratif, kompleksitas geografis dan demografis, serta dinamika politik yang tinggi menjadikan KPU Jawa Barat sebagai entitas yang perlu mencermati pola-pola pelanggaran etik secara seksama. Refleksi etik penting diarahkan pada tiga aspek utama. Pertama, kapasitas kelembagaan dan integritas personal. Banyak pelanggaran muncul karena rendahnya pemahaman regulasi dan lemahnya kepatuhan terhadap prinsip imparsialitas. Untuk itu, perlu dilakukan penguatan pendidikan etik berkelanjutan, khususnya bagi jajaran adhoc maupun ASN di lingkungan sekretariat KPU. Kedua, aspek transparansi dan akuntabilitas proses pengambilan keputusan. Beberapa pelanggaran terjadi akibat manipulasi dokumen, kesalahan dalam pencalonan, dan ketidakpatuhan terhadap putusan peradilan. KPU Jawa Barat perlu mendorong sistem pengawasan internal yang ketat dan mekanisme pelaporan yang adaptif. Ketiga, kemandirian kelembagaan dalam menghadapi tekanan politik dan konflik kepentingan. Peningkatan jumlah perkara di DKPP yang berasal dari tahapan non-teknis menunjukkan bahwa intervensi terhadap penyelenggara semakin subtil namun sistematis. Oleh karenanya, penguatan integritas kolektif dan budaya organisasi yang berlandaskan etika menjadi keharusan. Pembelajaran dari refleksi etik tahun 2024 ini harus menjadi landasan reformasi kelembagaan KPU Jawa Barat, baik dalam pembinaan SDM, manajemen risiko, maupun perumusan SOP berbasis prinsip keadilan elektoral. Dengan demikian, KPU tidak hanya menjalankan mandat teknis, namun juga menjaga marwah demokrasi yang kredibel dan bermartabat.


Selengkapnya
703

KPU dan Gen Z

KPU dan Gen Z? Apa aku salah baca? Tentu tidak. Saat ini, KPU atau Komisi Pemilihan Umum dihadapkan dengan challenge sekaligus peluang dalam menyelenggarakan pemilihan umum di tahun-tahun mendatang. Gen Z, yang lahir pada rentang tahun lahir pada 1997 hingga 2012, akan menjadi salah satu penyumbang terbanyak dari DPT (Daftar Pemilih Tetap) selain kelompok milenial, pada event Pemilu di periode selanjutnya, yakni di tahun 2029 mendatang. Diperkirakan gen z dan milenial akan menjadi penyumbang  suara lebih dari 60% dari total pemilih. Dominasi ini membuat KPU harus beradaptasi dengan karakteristik ala sang digital native, gen z. Sosialisasi melalui media sosial, aplikasi mobile, dan platform digital lainnya bisa digunakan menjadi strategi utama dalam rangka mengedukasi dan merangkul generasi yang sedang bertumbuh tinggi ini secara jumlah perorangan. Namun, tantangannya adalah, masih banyak pemilih muda yang cenderung apatis terhadap partai politik, apalagi pasangan calon yang diusung dari partai-partai politik tersebut. Meski demikian, generasi muda ini atau gen z yang dikenal memiliki skeptisisme dan rasa penasaran yang tinggi, memiliki potensi besar sebagai agen perubahan politik. Dengan pendekatan yang tepat, seperti mendorong tiap pasangan calon dalam masa kampanye, mengusung kampanye berbasis nilai/value. Lalu, ditambah transparansi, tentu akan menambah partisipasi aktif di kalangan gen z. Jika melihat peluang tersebut, KPU diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi melalui keterlibatan mereka.  


Selengkapnya
341

Menanamkan Nilai Profesionalisme Sejak Awal

Menumbuhkan sikap profesional sejak dini adalah langkah yang sangat penting, khususnya di lingkungan kerja yang berhubungan dengan pelayanan publik seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Profesionalisme bukanlah sesuatu yang muncul secara instan, melainkan hasil dari proses panjang yang melibatkan pembiasaan sikap, laperilaku, dan penanaman nilai-nilai fundamental sejak seseorang mulai menjalankan tugas. “Semakin awal nilai-nilai tersebut dikenalkan dan diterapkan, semakin kokoh fondasi yang terbentuk untuk mendukung pelaksanaan tanggung jawab dengan penuh integritas dan konsistensi.” Salah satu pilar utama dari profesionalisme adalah kedisiplinan. Hadir tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan sesuai batas waktu yang telah ditetapkan, serta mematuhi peraturan yang berlaku, tidak hanya merupakan kewajiban, tetapi juga menunjukkan rasa hormat terhadap tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan. Kedisiplinan juga mencerminkan jati diri dan karakter seseorang. Karakter yang kuat akan sangat berpengaruh terhadap integritas dan kredibilitas sebagai seorang profesional. Selain itu, rasa tanggung jawab juga merupakan aspek penting dari sikap profesional. Bekerja di KPU tidak hanya berurusan dengan pekerjaan administratif semata, tetapi juga berkaitan erat dengan menjaga dan mempertahankan kepercayaan publik. Setiap pekerjaan dan keputusan yang diambil berdampak langsung terhadap proses demokrasi yang berlangsung. “Oleh karena itu, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi akan mendorong seseorang untuk tidak hanya fokus pada pencapaian pribadi, tetapi juga memberikan kontribusi positif bagi institusi dan masyarakat secara luas.” Tak kalah penting, etika kerja adalah elemen yang menyempurnakan profesionalisme. Bekerja secara jujur, saling menghargai antar rekan kerja, serta menjaga perilaku dalam lingkungan kerja merupakan wujud nyata dari etika profesional. Dalam lembaga publik seperti KPU, menjunjung tinggi etika kerja menjadi kunci dalam membangun kepercayaan masyarakat dan menciptakan budaya organisasi yang sehat serta berintegritas.


Selengkapnya