PROGRAM 3D SERI 6 BAHAS STRATEGI PENDATAAN PEMILIH DI WILAYAH URBAN
Bandung, jabar.kpu.go.id - KPU Provinsi Jawa Barat kembali menggelar diskusi berseri melalui Program Data and Digital Discussion (3D) seri 6 dengan tema “Strategi Pendataan Pemilih di Wilayah Urban”, Rabu, (25/8/2021).
Kegiatan melalui webinar ini menghadirkan narasumber dari Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Luqman Hakim, S.Ag, Dirjen Dukcapil Kemendagri RI, Zudan Arif Fakhrullah, Ketua Divisi Data dan Informasi KPU Provinsi Banten, Anis Hidayah, dan Ketua Pusat Study Migrant Care, Agus Sutisna.
Program 3D dibuka secara resmi Ketua KPU Kabupaten Bogor, Umi Wahyuni, yang dilanjutkan dengan pemaparan Ketua Divisi Data dan informasi KPU Jabar, Titik Nurhayati. Dalam pemaparannya, Titik mengungkap Riset DPT 2019 yang pernah dilakukan oleh KPU Jabar kerja sama dengan Univeritas Padjajaran.
Titik Nurhayati menyebutkan 5 isu pokok yang dianggap krusial dalam evaluasi DPT Tahun 2019. “Pertama tentang penerapan KTP elektronik sebagai syarat pemilih, pengaturan pemilih kategori DPTb, peniadaan Coklit bagi daerah yang Pilkada tahun 2018, pengaturan kerja dan monitorig pantarlih dan Forum koordinasi Pemutakhiran Data Pemilih,” tegas mantan Ketua KPU Kota Depok tersebut.
Pendataan pemilih menjadi catatan penting bagi Wakil Ketua Komisi II Luqman Hakim. Ia menegaskan, pemilu merupakan sarana pemenuhan hak memilih dan dipilih. Langkah awal yang harus dilakukan adalah proses pendataan pemilih. Sebaiknya, kata Luqman, proses pemenuhan hak pilih harus memperhatikan stelsel aktif.
“Artinya masyarakat yang ingin menggunakan hak pilihnya harus secara aktif datang mendaftarkan dirinya,” tegas Luqman Hakim.
Untuk pemutakhiran data pemilih, Luqman mengusulkan agar menggunakan data dari Disdukcpil sebagai data induk. Bagi Luqman, apapun prosesnya, hak memilih dan dipilih merupakan kedaulatan rakyat yang harus dipenuhi.
Sementara itu, Ketua Divisi Data dan Informasi KPU Provinsi Banten, Anis Hidayah, menyebutkan persoalan pada pemilih diperbatasan. Ia mencontohkan kasus yang ditemukan pada pemilih diperbatasan, seperti adminduk berbeda domisili, dokumen adminduk yang tidak diperbarui ketika pindah pemilih.
Kasus lainnya adalah pemilih tidak memiliki dokumen adminduk, memiliki dua dokumen adminduk yang berbeda, rumah berada diatas perbatasan dan pemilih kurang terlayani dalam fasilitas adminduk karena lokasi yang terlalu jauh ke pusat Kota/Pemkab. “Persoalan tersebut kadang menjadi masalah bagi penyelenggara,” tegas Anis Hidayah.
Diskusi tentang pendataan di wilayah urban banyak tercerahkan saat Ketua Pusat Study Migrant Care, Agus Sutisna menyampaikan materi. Apalagi ia mencontohkan kasus yang ditangani terkait penyelenggaraan Pemilu di Malaysia. Menurut Agus, pemerintah tidak memiliki data buruh migran di Malaysia yang akurat karena mayoritas mereka undocumentsed. Padahal, tak dapat dipungkiri bahwa buruh migran merupakan pemilih mayoritas diluar negeri.
“Sayangnya jumlah pemilih yang terdaftar di luar negeri selalu bermasalah terutama terkait representasi jumlah buruh migran dalam DPT,” tegas Agus Sutisna.
Ia menyebutkan, DPT luar negeri pada Pemilu 2019 sebanyak 2.058.191 pemilih. namun masih belum mencerminkan jumlah buruh migran yang sesungguhnya. Apabila disandingkan dengan data Bank Indonesia pada Tahun 2018, jumlah buruh migran itu mencapai 9 juta yang berdasarkan remitansi yang dikirim buruh migran.
Sementara, data Kementerian Luar Negeri RI 2018 menunjukkan jumlah yang berbeda yaitu sebesar 4.732.555, terdiri dari 2.862.495 merupakan buruh migran berdokumen dan 1.870.060 tidak berdokumen.
Karut marutnya DPT luar negeri terjadi dengan dipicu oleh faktor utama masalah data. Makanya ia menyoroti lemahnya pemerintah dalam memperbaiki data buruh migran di luar negeri, seperti Malaysia.
Kelemahan pemerintah dalam mendata buruh migran, lanjut Agus, karena dipicu beberapa faktor. Yakni pemerintah selama ini belum melakukan upaya yang komprehensif untuk melakukan pendataan terhadap buruh migran tidak berdokumen. Padahal jumlahnya diperkirakan tiga kali lipat dibandingkan data buruh migran yang berdokumen.
Kedua, Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian di BP2MI, Kemlu, Keimigrasian tidak terkoneksi dengan baik. “Padahal ketiga sistem tersebut merupakan sumber data yang semestinya menjadi rujukan utama dalam menghimpun data pemilih luar negeri,” katanya lagi.
Sementara itu, Dirjen Dukcapil Kemendagri RI Zudan Arif Fakhrullah mengemukakan, bahwa dalam melakukan pemutakhiran Data Pemilih harus berada pada frekuensi yang sama antara Disdukcapil dan KPU. Sementara, selama ini pendataan dilakukan dalam frekuemsi yang berbeda. “KPU bergerak pada paradigma bahwa melayani hak pilih warga negara sementara disdukcapil memfasilitasi pemilih yang sudah memiliki KTP-el. KPU berada pada paradigma Lindungi Hak Pilih sementara disdukcapil dengan paradigma Undnag-Undang adminduk”. Tegas Dirjen Dukcapil Kemndagri RI.
Diakhir diskusi berseri itu, mengemuka kesimpulan, bahwa pendataan dibutuhkan kolaborasi semua pemangku kepentingan, keterbukaan penyelenggara pemilu, serta pentingnya pendidikan politik untuk meningkatkan kualitas data pemilih. (Nurhasanah)