KPU Jabar Bongkar Akar Apatisme Politik di Pilkada

BANDUNG — Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Barat kembali menggelar Parmas Insight Chapter #4 pada Rabu (29/10) dengan tema “Apatisme Publik: Menyentuh Kelompok Golput Kultural.” Kegiatan ini menjadi wadah berbagi praktik baik dan refleksi strategis menghadapi fenomena menurunnya kepercayaan publik serta meningkatnya apatisme politik dalam Pilkada Serentak 2024.

Diskusi dibuka oleh Abdullah Sapi’i, Ketua Divisi SDM, Penelitian, dan Pengembangan KPU Jawa Barat. Kegiatan ini juga dihadiri secara daring oleh Hedi Ardia, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KPU Jawa Barat, bersama Ketua Divisi Sosdiklih Parmas dan SDM dari 27 KPU Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Dalam arahannya, mereka menegaskan bahwa “golput kultural” bukan sekadar sikap pasif, melainkan ekspresi sosial dan budaya politik yang lahir dari pengalaman kolektif masyarakat terhadap sistem politik dan lembaga negara.

Hadir sebagai narasumber, M. Ilham Ramadhan (Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas, dan SDM KPU Kabupaten Subang) memaparkan materi bertajuk “Apatisme Politik di Tengah Apatisme Publik.” Ia menjelaskan bahwa apatisme politik bukan disebabkan oleh kurangnya sosialisasi, melainkan menurunnya kepercayaan terhadap institusi politik serta pengalaman negatif masa lalu. Mengutip Dalton (2017), Ilham menyebut apatisme sebagai “krisis kepercayaan terhadap efektivitas suara rakyat dalam membawa perubahan.”

Ilham juga menyoroti berbagai faktor pendorong golput, mulai dari kondisi sosio-ekonomi dan psikologis hingga faktor politik. Berdasarkan pengalaman KPU Subang, ia menekankan pentingnya sosialisasi yang terencana, inovatif, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk komunitas marginal dan pemilih muda. “Pendidikan pemilih harus membangun kepercayaan sosial, meningkatkan literasi politik digital, dan melawan disinformasi yang memperdalam apatisme publik,” ujarnya.

Sementara itu, Munawaroh (Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas, dan SDM KPU Kabupaten Indramayu) memaparkan studi kasus Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandhu, sebuah komunitas lokal di Indramayu yang memilih menarik diri dari sistem administrasi negara, termasuk menolak kepemilikan KTP karena keberatan terhadap kolom agama. Fenomena ini menjadi potret nyata “golput kultural” yang berakar pada identitas, keyakinan, dan nilai-nilai sosial budaya.

Dalam pendekatannya, KPU Indramayu mengedepankan empat strategi: Cultural Respect, Local Leadership, Empathy Communication, dan Inclusion First.
“Kita tidak datang untuk mengubah keyakinan mereka, tetapi memberi ruang pilihan tanpa merusak martabat budaya. Kuncinya adalah mendengar lebih dulu dan hadir dengan empati,” ujar Munawaroh.

Diskusi ini menghasilkan refleksi bersama bahwa menumbuhkan kembali kepercayaan publik terhadap pemilu memerlukan pendekatan yang lebih humanis, partisipatif, dan menghargai keragaman nilai serta pengalaman sosial masyarakat.

Melalui Parmas Insight Chapter #4, KPU Jawa Barat meneguhkan komitmennya untuk terus membangun pemilu yang inklusif, partisipatif, dan berintegritas, sejalan dengan visi lembaga.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 322 Kali.