Kerja-Kerja KPU Tak Boleh Senyap

Oleh : Hedi Ardia
(Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Jabar)

 

Di saat ada tahapan Pemilu maupun Pilkada, nama KPU baik di tingkat nasional maupun daerah kerap kali disebut-sebut dan menjadi bahan perbincangan berbagai kalangan terutama media massa (cetak, online dan elektronik). Pasalnya, seluruh tahapan hajatan politik lima tahunan tersebut memang menjadi tanggung jawab KPU secara teknis penyelenggaraannya. 

Tapi, di saat tak ada tahapan Pemilu maupun Pilkada seperti sekarang ini tentu yang bisa dilakukan oleh KPU menjadi kian terbatas. Bahkan acap kali muncul tuduhan-tuduhan bahwa seluruh komisioner KPU terutama di daerah hanya magabut alias makan gaji buta. Tentu, stigma seperti itu harus dibuktikan dengan kerja-kerja yang bisa dipertanggung jawabkan. Hal itu, lantaran seluruh personel di rumah besar KPU tetap menerima uang kehormatan dan gaji setiap bulannya sekalipun tidak ada tahapan Pemilu/Pilkada.

Dengan kondisi seperti di atas, tak ada pilihan lain bagi KPU dan jajarannya untuk bisa membuktikan kepada publik bahwa mereka tidaklah magabut. Momen seperti saat ini sebenarnya peluang untuk melakukan konsolidasi internal, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, pemutakhiran data pemilih hingga edukasi ke masyarakat. Sederhananya, bila pendidikan pemilih dan sosialisasi dilakukan seperti momen saat ini yang dikedepankan adalah nilai ketimbang urusan teknis belaka.

Terlebih menurut catatan V-Dem, sebagian dari negara-negara di muka bumi banyak mengalami penurunan kelas dari demokrasi liberal menjadi demokrasi yang bersifat elektoral atau dengan kata lain demokrasi seutuhnya menjadi demokrasi prosedural. Demokrasi hanya dipahami adanya lembaga-lembaga demokrasi dan pelaksanaan pemilu an-sih tapi demokrasi kehilangan ruh karena praktiknya hanya bersifat seremonial belaka. 

Oleh karena itu, pendidikan pemilih dianggap mendesak dilakukan  terlebih hal ini bisa dilaksanakan pada masa pre elected yaitu sebelum tahapan pemilu dilaksanakan, elected yaitu pada waktu tahapan pemilu dan post elected setelah tahapan pemilu selesai dilaksanakan. Tugas dan kewajiban untuk melaksanakan pendidikan pemilih berkelanjutan ini sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama baik penyelenggara, stakeholder, partai politik, masyarakat, maupun pihak-pihak terkait.

Teman-teman KPU Kabupaten/kota wajib melakukan terobosan dan kreativitas sehingga pendidikan pemilih bisa terus berjalan. Semisal, memanfaatkan media sosial membuat podcast, reels, infograpis hingga kuis interaktif. Menggandeng instansi lain seperti Dinas Pendidikan untuk melakukan edukasi di SMA/SMK. Selain itu, edukasi demokrasi di pesantren dan perguruan tinggi serta melakukan simulasi inklusif bagi kaum disabilitas dan pelatihan kepemimpinan bagi perempuan. 

Tapi, jangan sampai dilupakan seluruh aktivitas tersebut harus didokumentasikan dengan baik di seluruh kanal media sosial milik KPU kabupaten/kota sebagai bentuk transparansi sekaligus pertanggung jawaban atas tupoksi yang mesti dilakoninya. Bahkan, bila kita lihat kondisi abad ini persis seperti yang diungkapkan Clay Shirky dalam bukunya Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations (2008) mengatakan,  the tools of social media don’t  get socially interesting until they get technologically boring. Kerja seseorang sering diakui saat aktivitasnya terlihat di media sosial. Dengan kata lain, publikasi menjadi alat komunikasi yang memberi legitimasi sosial pada hasil kerja.

Masalahnya, masih banyak personel yang ada di KPU menganggap bahwa publikasi di medsos itu hanyalah pencitraan bukan bagian dari pembuktian kinerja (akuntabilitas). Cara pandang tersebut, perlu diubah bahwa publikasi adalah akuntabilitas bukan formalitas. Bukan sekadar posting, tak kalah pentingnya adalah memastikan konsistensi kegiatan publikasi itu dilakukan guna menjaga kepercayaan masyarakat. 

Bila penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan sudah kehilangan kepercayaan publik, itu artinya sebuah pertanda matinya demokrasi. Hal ini bisa kita lihat di bukunya How Democracies Die yang ditulis dua intelektual terkenal dari Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Menurut keduanya, matinya demokrasi didahului dengan matinya keyakinan atas pelaksanaan substansi atau norma-norma demokrasi.  

Tahapan Pemilu/Pilkada memang sedang jeda, tapi tidak dengan pengabdian seluruh penghuni rumah besar KPU. Pendidikan pemilih harus terus berjalan sekalipun dihadapkan dengan sejumlah tantangan minimnya anggaran. Yang terpenting adalah pembuktian kerja-kerja konkret kepada publik atas hak yang telah diterima. Dan tak kalah pentingnya yakni menyepakati publikasi di medsos adalah upaya konkret menjaga akuntabilitas, membangun kepercayaan sekaligus penegasan eksistensi KPU bagi imunitas demokrasi.*** 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 1,475 Kali.